· Tulisan
Perkembangan
Sistem Hukum di Indonesia dari masa sesudah Kemerdekaan sampai masa Reformasi
Era orde lama, Indonesia menggunakan hukum Tiban yaitu hukum yang serta
merta berlaku pada saat Indonesia merdeka. Oleh karena pada saat itu Indonesia
belum memiliki atau merumuskan hukum, sehingga dipastikan bahwa produk hukumnya
cenderung represif. Selanjutnya pada masa orde baru, pemerintah memfokuskan
perhatiannya pada aspek pembangunan ekonomi. Pengurutan hukum juga menjadi
agenda yang begitu penting dalam hal ini UUD 1945, UU/Perpu, dan lain
sebagainya. Dengan konfigurasi politik otoriter ini, maka produk hukum yang
dihasilkan adalah represif dalam hal ini hukum yang menindas. Sedangkan pada
era reformasi, wewenang presiden dikurangi serta ditelanjangi. Dimana setiap
kali mengangkat pejabat Negara dalam hal ini Panglima, Kapolri, Jaksa Agung dan
lain sebagainya mesti harus Fit and proper Test oleh lembaga legislatif, dengan
tujuan agar supaya gaya kepemimpinan otoriter pada masa era orde baru tidak
terulang kembali. Sehingga wewenang Presiden disatu sisi tidak otonom. Akan
tetapi dengan melihat konfigurasi politik disisi yang lain, maka produk hukumnya
bersifat responsive meski pada kenyataannya tidak murni demikian.
Berdasarkan perkembangan sejarah hukum mulai dari zaman
orde lama, orde baru, reformasi sampai sekarang, sepertinya masih bisa
diperbaiki salah satunya perbaikan dari sektor penegakkan hukum. Perbaikan yang
dimaksud ialah:
1) Memperbaiki faktor hukumnya dalam hal ini
Undang-Undang Korupsi agar penjatuhan pidanya lebih ditekankan pada aspek
pengembalian kerugian Negara dengan cara penyitaan semua aset terpidana
korupsi. Sehingga ide pemiskinan koruptor ini menjadi penting karena selain
untuk pengembalian sebagian atau seluruhnya kerugian Negara, juga sebagai
pembelajaran bagi yang lain agar jangan ada yang mencoba-coba melakukan
korupsi.
Selain dari pada itu, Roscoe Pound berpendapat bahwa
hukum tidak hanya dilihat sebagai alat penyelesaian konflik atau sengketa
melainkan terutama sebagai alat untuk merespons kepentingan masyarakat.
Sehingga diharapkan tugas hakim bukan hanya sebagai pewarta ajaran melainkan
merespons berbagai tantangan sosial dan personal. Sehingga pertimbangan moral
menggunakan nilai moral masyarakat setempat sebagai bagian dari pertimbangan
hukum dalam kasus berat menjadi penting.
2) Memperbaiki moralitas penegak hukum yaitu
pihak-pihak yang membentuk hukum dalam hal ini eksekutif bersama-sama dengan
legislatif dan juga yang menerapkan hukumnya dalam hal ini yudikatif.
Selain itu juga perbaikan dari sisi “birokrasi” juga mutlak diperlukan
3) Memperbaiki, menambah serta melengkapi
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum dalam kasus-kasus korupsi
seperti ini. Oleh karena seringkali karena kelincahan atau kelebihan para
koruptor, maka mereka bisa melarikan diri keluar negeri. Kemudian karena
kekurangan dana serta fasilitas yang dimiliki oleh para penegak hukum maka
tidak bias mengejar serta menangkap pelaku ke luar negeri, dan masih banyak
hal-hal yang lain yang masih harus dilengkapi sebagai upaya mendukung
pemberantasan korupsi di Indonesia.
4) Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana
hukum tersebut berlaku atau diterapkannya sanksi sosial terhadap para koruptor
salah satunya dengan cara dikucilkan dari pergaulan sehari-hari.
5) Peran faktor kebudayaan yaitu sebagai
hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan
hidup dapat terus dimaksimalkan sebagai tindakan pencegahan. Budaya anti
korupsi harus terus dikembangkan dan dikumandangkan agar itu bisa menjadi pola
hidup masyarakat.
Comments
Post a Comment