POLITIK
Sebelumnya harus
dibedakan istilah politik Fiksi dan Fiksi politik terlebih dahulu. Menurut
istilah saya, Politik Fiksi ditujukan pada kelompok atau seseorang yang kerap
menulis atau berbicara politik kontemporer dengan cara mendahulukan fantasi dari
pada realitas. Mendahulukan pikiran instan
daripada objektifitas. Singkatnya dia menulis politik layaknya fiksi.
Susah dicari benang merahnya. Alurnya loncat-loncat tak jelas. Bicara soal
pertemuan sosok Amien Rais dengan Jokowi, Misalnya, lalu dikaitkan dengan isu
penjatuhan Gus Dur. Mengajak pembaca semakin membenci tokoh yang diulas. Atau
ketika berbicara tentang pertemuan Jokowi dengan pemilik facebook, lalu
dikaitkan dengan betapa tingginya pencapaian teknologi orang barat dibanding
dengan negeri Onta atau Arab. Itu juga aneh. Tidak fokus. Melenceng dari maksud tulisan. Sementara Fiksi Politik
rasanya tak perlu dijelaskan. Dalam karya sastra sudah banyak yang tahu apa itu
fiksi politik. Itu hanyalah masalah genre penulisan saja.
Ada seorang penulis
yang suka menulis puisi berbau politik, atau bikin cerpen yang kerap berkaitan
dengan perlawanan terhadap kekuasaan dan kemapanan kaum priyayi, itulah fiksi
politik. Dari kedua kategori tersebut. Saya perhatikan di berbagai media,
termasuk Kompasiana, kecenderungan
penulis kolom politik lebih pada politik fiksi. Cirinya mungkin selalu berpihak
pada satu hal dan menafikan hal lain. Bahasanya vulgar dan cenderung menghakimi
seseorang atau kelompok tertentu. Sisi baik seseorang atau kelompok tadi
diberangus sedemikian rupa dengan berbagai alur yang tidak pada tempatnya.
Menggugat kesombongan KMP di parlemen dengan menyerang pribadi dan keluarga
yang dibicarakan. Atau meledek Jokowi sambil memasang gambar berbau pelecehan.
Menurut saya inilah ciri utama politik
fiksi yang sering kita temukan. Melenceng dan tidak fokus. Nuansa fantasinya
lebih tinggi dari pada kenyataan. Benang merahnya kusut dan sulit diurai.
Perilakunya sama dengan Trio macan atau Jonru. Menulis hanya untuk melampiaskan
rasa tidak suka pada hal tertentu.
Akibatnya apa yang ditulis tidak menghasilkan pencerahan, kecuali menanamkan
pembenaran sepihak pada kalangan sendiri
bahwa apa yang tertulis mutlak benar.
Saran saya,
kalau mau menulis politik, benang merahnya harus jelas. Boleh membandingkan
satu isu dengan isu lain yang relevan. Yang tak boleh asal membandingkan.
Membandingkan seorang tokoh dengan Nabi atau membandingkan seseorang dengan Sengkuni. Itu keluar jalur. Fokus saja
dan jangan suka melenceng. Segala sesuatu tak boleh asal dipautkan. Kalau itu sulit dihindari,
mending ubah ke dalam bentuk cerpen dan tayangkan dilaman fiksi politik, bukan
politik fiksi.
Comments
Post a Comment